Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 07 Juli 2016

Malam itu

Semilir angin seakan berbisik
Tentang lembaran yang telah berlalu
Bukalah, sedikit
Baca kembali, lihat yang tertinggal

Ah, sepi.
Bertambahnya usiaku membuatku sulit berada di tempat tinggi ini. Sudah susah naik, namun tak satupun dari golongan mereka yang nampak. Aku hanya merindukan masa itu. Kecewa, karena bagian terbesar memori itu justru absen pada malam itu. Halah.

Untungnya tiupan angin mencegahku. Mempersilahkan untuk bertamu sejenak. Ah, betapa banyak hal bodoh yang kulakukan dulu. Dasar, bocah. Hanya lari dari masalah. Satu persatu memoriku berkumpul, mengajakku menyimak jilidan kisah yang setengah terbakar. Benar, dialah pelaku utama kisahku itu.

Apa kabarnya dia, pelaku utama? Aku merasakan bibirku tersenyum. Benci mengakuinya, aku sedang mengenang dia. Bertanya-tanya, apa yang akan dia lakukan jika yang kulakukan masih sama? Mencari kabar, dan selalu ingin tahu tentang dia. Wah, nampaknya dia jauh lebih bahagia.

Malam itu aku sedikit mendapat umpan. Sedikit berkomunikasi dengannya sudah cukup membuatku senang. Dia tidak benci, rupanya.

Kuletakkan lagi ponselku. Ah, dasar, aku pernah mencintaimu dengan tulus dan aku tak punya apapun selain ketulusan. Setelah kau mengambilnya, apa lagi yang tersisa?
Bakka.

Mengambil napas panjang....
Menutup mata.
Malam itu adalah malam ini.

Semoga mimpimu indah, ya.

Kamis, 09 Juni 2016

Tahun Satu

Setaun sudah ngejalanin masa kuliah. Bener, seperti yang gue bayangin. Parahnya harapan gue selama kuliah belom ada yang terwujud. Kurang usaha kali ya, haha. Payah.

Pendidikan Indonesia ini terlalu rumit, sinting. Bahkan menurut hue, beban ilmu saintek ini bisa ngalahin hebatnya demokrasi Indonesia. Bisa jamin, orang yang bawaannya politik, terus kuliah di saintek, bakalan ciut. Bisa ditebak, generasi gue sekarang, yang 20 tahunan lagi bakal mimpin Indonesia bakal gagal. Pilihannya, Indonesia bakal dipimpin orang-orang soshum yang terlalu kritis dengan politik, Indonesia bakal dipimpin orang-orang soshum yang masa bodo sama negaranya sendiri, Indonesia bakal dipimpin sama orang saintek yang terlalu pinter sampe gampang dikibulin, Indonesia bakal dipimpin orang saintek yang krisis but bodo amat sama sainteknya, last, Indonesia bakal dipimpin sama orang saintek yang penurut (read: ya dia tau, tapi diem aja).

Demokrasi sudah mati. Kecium baunya. Gencar-gencar 65 tahun lalu sudah amblas. Eh gimana itu orang sastra? Masih ngelukis tulisan kah? Yang bisa memperkuat motivasi orang lain tapi dalam hati doang? Guys, kamu dan aku perlu bergerak.

Gimana geraknya? Entahlah. Sekarang kita dipasung sama sistem pendidikan. Sistem yang rumit, bikin mentalitas mati. Oh sial, rasanya gue pengen teriak.
Senioritas Junioritas. Bangke. Gila hormat aja kali. Gausah nyalahin maba yang emang notabene baru beradabtasi sama lingkungan baru. Oi, senior. Mereka tamu, bukan pekerja.

Ditambah lagi moralitas yang semakin menurun. Ini siapa sih yang ngejajah Indonesia? Pada gak sadar? Agama mulu diomongin. Bangsa lu woy, kapan?

Rasanya gue pengen ikut kubu koruptor dan komunis aja. Bisa maju dan makin pinter (read: ngakalin) gak kayak kita semua sekarang, macam pecundang.

Serem ya kuliah, kita diajarin buat mundur. Bukan melangkah apalagi maju.

Oh ya, sorry, ditinggal setaun blog udah usang. Banyak plugin mati. Sabar ya tampilannya jadi jelek :( Segera gue perbaikin deh.

Selasa, 08 Desember 2015

#2

Fase adaptasi. Lingkungan baru, suasana baru, dan pribadi yang baru. Semuanya sulit. Dunia bukan lagi bersahabat, bukan lagi fantasi. Dunia menunjukkan semua lukanya, dan meminta untuk disembuhkan. Sejenak aku bermalasan, malas menjalani kehidupanku saat ini. Aku bercermin, bertanya pada diriku sendiri. Berapa banyak waktu yang dulu aku habiskan untuk suatu hal yang sia-sia? Kenangan? Ah, aku tak lagi ingat...

Aku masih mencari aku. Aku juga tetap menjadi aku. Aku bukan menghilang, hanya saja mengambil jalan yang berbeda denganmu. Untuk semua yang pernah berjalan bersamaku, aku berterimakasih. Sementara mimpiku masih terpendam, harapanku masih terhalang, dan rinduku masih kusimpan, aku mencoba keluar... memikirkan di sekitarku apa hanya aku yang seperti ini? Bukan saatnya berkeluh kesah, tapi pikirkan. Mengapa Tuhanmu menciptamu dan mengapa kau masih belum menghembuskan napas terakhirmu hingga detik ini?

Aku melihat cahaya-cahaya kecil muncul dari raut wajah teman-temanku. Teman-teman yang lama kutinggalkan. Aku senang. Nyaman rasanya. Meskipun tiada dariku yang diterangi. Cukuplah bersinar seperti itu, mungkin bahagiaku adalah milik yang lain.

Rabu, 02 September 2015

#1

Mungkin ini bentuk perjanjianku dengan beliau. Segala kesenangan dan kebahagiaanku Kau renggut dalam sekejap. Tidak apa, aku menikmatinya. Kapan lagi bisa menikmati dalamnya luka? Luka yang lama telah direncanakan dan akan selalu ku nikmati, kini, esok hari, dan hari-hari berikutnya lagi. Aku tak bermaksud meninggalkan semua pada saat itu. Konyol. Ya, itulah aku. Bersama dengan luka ini, kuproklamirkan, aku yang menjadi pribadi baru. Sosok yang membawa ribuan luka tanpa mau membaginya. Sosok dengan cahaya yang redup, sangat redup.

Aku harus terus menatap masa depan, hingga akhirnya aku merasa jauh. Jauh dengan masa lalu saat aku menoleh kebelakang. Saat aku ingin mengatakan, sesungguhnya bukan ini yang aku mau. Hingga aku sadar, aku sudah terlalu jauh untuk kembali. Namun, juga terlalu jauh untuk melangkah. Hingga engkau-engkau yang menemaniku, berjalan melewatiku sambil menggenggam cahaya biru. Cahaya yang nampaknya menyenangkan dan tak pernah padam. Saat itu tiba aku akan tersenyum, mendoakanmu, dan memelukmu? Karena masa lalu tidak untuk dikenang maupun dibuang, melainkan dirindukan.

Aku, hanyalah aku yang terus mencari aku. Aku, saat ini, hanyalah cahaya kecil yang redup. Namun aku punya mimpi besar. Sangat besar. Yaitu menjadi cahaya yang terang dan bukan hanya terang, namun juga menerangi.

Rabu, 03 Juni 2015

Good Bye

Musim kemarau kembali tiba. Entah sudah berapa musim yang kulewati bersamamu. Langit tampak mulai mendung. Tak lama, rintik air hujan berjatuhan, membasahi jalanan yang kering. Bau khas hujan pun muncul. Bau petrichor. Aku sangat menyukai bau ini, segar, bercampur debu.
Hujan pun datang, menggandeng angin yang lumayan besar. Angin ini menuntun hujan yang jatuh ke mukaku, segar sekali rasanya. Tapi aku memendam kesedihan yang besar malam ini. Sambil mengingat memori tentangmu, air mataku mulai menetes, memikirkanmu. Untungnya hujan ini menyembunyikan segalanya.

Apa kabar kenangan? Apa kau juga masih ada di hatinya? Atau di hatiku saja yang kau singgahi? Sehingga perasaan ini kutanggung sendiri. Ya, dia sudah banyak berubah, usia yang menuntun dia pada masa dewasanya. Dia jauh berbeda. Jauh sekali. Tak adakah sisa dirinya yang dulu? Kemana larinya jalan pikirannya? Tak adakah aku? Sama sekali?

Kekecewaan ini kubendung sendiri. Aku yang tulus mencintaimu hanya dapat mendoakanmu. Ada kalanya aku juga harus memberikan sesuatu yang berharga pada orang lain. Kau tahu? Kau tak akan mau tahu. Bukan. Aku tidak pernah cemburu. Aku hanya merasa kehilangan sosokmu yang dulu. Semakin hilang dan semakin lenyap. Ya, mungkin sejenak aku bisa melupakanmu, sejenak mungkin tidak. Berbahagialah, tersenyumlah, raih apa yang kau mau. Tanpa aku. Beberapa orang didunia ini memiliki kodratnya. Yang dilupakan, dan yang melupakan. Sialnya aku terdapat pada kriteria pertama. Untungnya aku tidak pada kriteria kedua. Kau teman bukan? Teman yang menjadi penyebab sakitku. Teman yang tak pernah menolongku ketika ku jatuh. Teman yang melupakan aku. Kau juga teman. Teman yang hanya mempedulikan kebahagiaannya. Teman yang selalu membutuhkan orang lain ketika jatuh. Teman yang selalu meminta dan meminta. Kau tahu? aku selalu tulus memberinya. Memang sudah begini adanya. Aku hanya sendiri menghadapi dunia ini, hanya sendiri untuk menolongmu. Asyik bukan duniamu sekarang? Sembari kau menikmatinya aku akan melangkah mundur. 

Aku tidak memintamu tinggal. Aku tidak memintamu menemaniku teman. Aku hanya minta, tolong  jangan remehkan perasaanku. Semoga kau berhati-hati melangkah menyambut hari baru. 

Mungkin aku mencintaimu seperti hujan. Selalu mau kembali, meski tahu rasanya jatuh berkali-kali (Endlessend).

Terima kasih ya, sudah menjadi sebuah kenangan..:)

Minggu, 22 Maret 2015

Garis


Hari-hari berlalu, seperti biasa, kulewati bersama malam dan para bintang yang menemani. Namun, ada yang berbeda pada malam hari ini. Mulai hari ini dan seterusnya, hariku akan terasa lebih indah dan menyenangkan. Bagaimana tidak? aku ditemani olehnya, bintang yang kukagumi dari seluruh semesta. Dia cantik, memiliki senyum yang manis, baik hati, membuat siapapun yang melihatnya pasti ingin menemani setiap malamnya. Ya, sama seperti aku yang terbelenggu oleh pesonanya. Aku sangat mengaguminya, sejak saat itu tiba, saat dimana aku berjumpa dengannya, sebuah kebahagiaan yang lama telah hengkang dari hidupku terasa hadir kembali.

Pertemuan pertamaku dengannya terjadi di sebuah taman kecil dekat tempat kelahiranku. Kejadian itu terjadi pada sore hari. Saat itu usiaku masih empat belas tahun. Dia juga terlihat seumuran denganku. Aku melihatnya duduk di bawah pohon besar, pohon yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Pohon ini adalah suatu tempat yang paling kugemari. Begitu menenangkan dan menyejukkan berada di bawahnya. Semilir angin yang lembut, mengarahkanku pada pohon itu. Rasanya sejuk dan tenang. Seolah pohon itu merayuku untuk melihat dan singgah sejenak dibawahnya. Aku meliriknya, mendekatinya. Langkah-langkahku semakin dekat, hingga aku berhenti sejenak, rasanya jantungku berhenti untuk beberapa saat, mataku juga tidak berkedip melihatnya. Ada seseorang disana. Aku melihat sebuah senyum yang begitu indah di kala itu. Seorang gadis, berambut hitam-coklat panjang. Dia tengah melihat langit dan menyunggingkan senyum manisnya. Dia bersenandung, mengikuti lirik lagu yang Ia dengarkan melalui headset-nya. Sesekali dia bernyanyi sambil memejamkan mata dan merangkul kedua lututnya, Seolah menyanyikan reff lagu yang sesuai dengan perasaan hatinya. Beberapa menit aku mengamatinya, dengan jarak tidak lebih dari tiga langkah dengannya. Rupanya dia mulai menyadari keberadaanku. Dia membuka mata, melihat ke arahku.

"Hai.." sapanya.
"Oh, hai" aku menjawab seketika sesaat setelah tersadar dari lamunanku.
"Udah lama disitu?"
"Baru saja", kemudian dia mengulurkan tangannya, mengajakku untuk berkenalan.
"Panggil saja aku Res" dia tersenyum.
"Gio" aku membalasnya. Kemudian aku duduk disebelahnya, kakiku serasa lunglai usai berlari sore itu. Dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Air minum yang terlihat sangat menyegarkan. Dia meneguk dengan cepat, bunyi tegukkannya sampai hingga telingaku. Nampaknya dia sangat haus usai bernyanyi tadi.
"Mau minum?" Dia menyodorkan air mineralnya padaku. Aku yang canggung untuk menerimanya memutuskkan untuk menolaknya.
"Belum haus," Dia tertawa seolah mengejekku.
"Keringet sebanyak gitu masih bisa ngeles belum haus? Rugi sendiri yaa" Dia meneguk hingga habis minumannya. Membuatku sedikit menyesali penolakanku tadi.
Percakapan itu terus berlangsung hingga dia berpisah untuk kembali pulang. Menyenangkan sekali rasanya berada didekatnya. Sekedar membicarakan hal yang biasa saja sudah terasa istimewa. Senyumnya yang indah juga terus terekan sebagai sebuah kenangan di otakku. Aku ingin sekali bertemu lagi dengannya, sekali lagi, untuk meyakinkan hatiku. Benarkah dia adalah orang yang diciptakan-Nya untuk menemani hari-hariku?

Hari semakin gelap, entah sudah berapa lama aku duduk disini. Melihat orang berlalu-lalang dengan kesibukannya. Sebagian dari mereka sangat bahagia, sebagian lagi sedih, dan sisanya sangat kesepian. Kesepian sepertiku. Dunia ini bagiku hanyalah sebuah drama kosong. Aku diciptakan sebagai pemeran utama. Sedang yang lain hanya sebagai pelengkap cerita. Kehidupanku datar. Hitam dan putih. Seberti layaknya aku sedang membaca komik-komik fiksi.
Setelah malam tiba, aku mengamati langit yang pada hari itu sangat cerah. Seperti biasa, aku melihat bintang milikku yang bersinar redup. Namun, ada yang berbeda dengan hari ini, bintang milikku yang sangat redup dan biasanya hanya seorang diri, kini bersama dengan yang lain. Tidak, bukan beberapa. Hanya satu bintang yang berada tepat disisinya. Bintang yang bersinar sangat terang. Seolah ia baru diciptakan. Aku tersenyum melihatnya. Siapakah kamu? Res?

***

Dia tidak pernah tersenyum. Ya, benar! Dia tidak pernah tersenyum! Apa yang salah dengan dirinya? Nampaknya dia diselimuti kesedihan yang mendalam. Gio. Ya benar, kalau tidak salah itu namanya. Baru kali ini aku merasakan kehadiran orang disekitarku. Saat aku mendengarkan musik tadi. Kehadirannya begitu hangat. Satu aku mengabaikannya. Dua aku mencoba tidak membuka mata. Tiga pertahanku goyah, karena penasaran apa yang sedang mendekatiku.

When I look into your eyes
It's like watching the night sky
Or a beautiful sunrise
Well, there's so much they hold


Aku melihatnya, seseorang yang belum pernah kutemui sebelumnya. Baru kali ini aku mengerti makna lagu yang kurasa begitu indah. Tidak pernah seperti ini sebelumnya. Semua lagu hanya kudengar saja, tanpa aku ketahui seperti apa makna didalamnya. Aku melihat seorang laki-laki dengan peluh membasahi seluruh tubuhnya. Lumayan tampan.
Aku melihatnya tepat saat dia melihatku. Mata kami bertemu. Matanya sangat indah, tajam, namun menenangkan. Saat kau lihat matanya, kau pasti seperti sedang melihat bumi. Sebuah kehidupan terpancar dari matanya. Sesaat aku terdiam menatapnya, namun segera kualihkan perhatianku dengan memintanya berkenalan.Aneh, biasanya aku tidak pernah ingin mengenal seseorang. Semua orang itu sama saja. Datang dan pergi. Ah, sudahlah. Dinginnya malam ini, serta bau petrikor yang sampai di hidungku menandakan hujan akan segera mengguyur malam ini. Aku memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah. Sekejap aku melihat langit. Ada yang salah. Kembali aku menatap langit. Bintangku? Bersama siapa dia? Sebuah bintang yang redup? Ini pasti salah. Jika itu menandakan aku bertemu dengan pasangan hidupku, mengapa secepat ini? Umurku masih belia. Belum saatnya aku merasakan gemuruh cinta. Tapi, mau bagaimana lagi? Mungkin sejak saat ini aku akan lebih dekat dengannya dan garis merah pada dahiku akan segera terlihat. Garis merah di dahi untuk seorang wanita, menandakan bahwa wanita itu telah bertemu pendamping hidupnya. Tuhan, jangan secepat ini. Aku memohon padamu.

***

Aku harus cepat. Sebelum Ibu datang menjemputku untuk kembali ke Jogja. Aku ingin sekali lagi menemuinya. Sekali lagi. Sebelum aku harus menjalani hari esok. Hari dimana aku akan mengetahui, apakah umurku akan berhenti besok seperti kata dokter. Atau umurku masih panjang karena kehendak Tuhan. Aku ingin sekali lagi melihat senyumnya. Aku ingin sekali lagi menjabat tangannya. Aku ingin sekali lagi menghabiskan waktu dengannya. Segera aku mengayuh sepedaku, menuju taman itu. Aku menunggunya di bawah pohon kemarin. Dia tak kunjung terlihat. Sudah 3 jam aku menunggunya. Apa dia tidak akan datang? Res. Datanglah. Aku ingin sekali lagi melihatmu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Res. Cepat, kurang 30 menit sebelum jam 5.
Kesedihan mulai menghampiriku. Sedih? Tidak. Seharusnya aku kecewa karena aku gagal menemuinya. Jam lima tepat. Ibu pasti sudah menungguku, aku harus segera pulang. Tapi apa ini? Aku merasakan suatu kesedihan yang mendalam. Sakit sekali rasanya, seakan air dari dalam mataku ingin berjatuhan keluar. Apakah terjadi sesuatu padamu, Res? Aku memejamkan mata, mulai mengayuh sepedaku. Semoga kita dapat bertemu lagi, Res.
***

Semua teman-temanku mengejekku. Mereka berkata aku akan segera menikah dan hamil. Ada pula yang berkata aku adalah anak yang bejat. Masih kecil, tapi sudah lihai dalam percintaan. Aku tahu mereka salah. Cinta adalah anugrah Tuhan! Tapi memang aku saja yang tidak lazim. Merasakan cinta sedini ini. Mendengar teman-temanku membicarakanku dengan hal yang tidak-tidak mataku semakin panas. Aku tidak kuat lagi. Aku menangis. Menangis sejadi-jadinya. Bagaimana aku menyembunyikan garis ini? Bagaimana? Ini baru disekolah. Belum lagi disekitar rumah. Aku harus bagaimana?
Jam menunjukkan pukul lima tepat. Bel berdering, dan aku segera berlari menuju halaman sekolah. Mencari sepedaku, dan kemudian mengayuhnya secepat-cepatnya. Aku ingin menuju pohon itu! Aku ingin menangis dibawahnya. Aku ingin mencurahkannya. Hal yang tidak aku inginkan. Mungkin sejak saat ini aku menjadi bahan pembicaraan orang lain. Aku pasti jadi makin aneh.
Sesampainya disana, aku tidak berhenti menangis. Sakit sekali hatiku ini, mendengarkan olokan teman-temanku. Aku tidak bisa menjelaskan apapun. Setelah menceritakan semua ini pada pohon rasanya tidak mengurangi bebanku. Tiba-tiba aku teringat seseorang. Gio. Seandainya dia ada disini, pasti aku tidak akan sesedih ini. Aku mulai lelah menangis. Aku menyandarkan kepalaku di pohon. Mataku mulai terpejam dan nafasku mulai teratur. Lelah sekali rasanya. Lalu perlahan, aku mulai tertidur.  

Tuhan, jika cinta membuatku sesakit ini, jika cinta membuatku kehilangan segalanya, jika cinta akan memperburuk keadaanku, maka hilangkanlah dia. Aku bisa hidup tanpanya.

Entah mengapa, aku menjadi sangat membenci Gio. Sebab tak ada yang lain, ini dimulai sejak aku bertemu dengannya. Jika kamu hanya membuatku dibenci, maka aku akan membencimu, Gio.

***
Tidak bisa. Aku tidak bisa lagi. Memang benar aku masih hidup, tapi tentang mereka? Aku tidak tahu lagi. Bagaimana bisa? Pandanganku biasa saja saat melihat bintang-bintang. Aku melihatnya sebatas titik putih saja, tak lagi indah seperti dulu. Dunia buta warna yang hanya hitam dan putih, kembali. Bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Aku masih ingin berbagi cerita dengan mereka. Tidak bisakah? Apa ini sebagai bayaran atas nyawaku? Tuhan, mengapa kau ambil kehidupanku yang dulu? Sekarang aku akan menjadi manusia yang tak memiliki apa-apa. Apakah kau menjauhkan diri denganku, Tuhan?
Ah sudahlah, seharusnya aku bersyukur masih diberi kesempatan. Jantungku yang sempat berhenti mungkin adalah suatu peringatan oleh-Nya, akan umurku yang sudah seharusnya aku gunakan untuk menaati semua kemauan ibuku. Tidak lagi untuk bermain-main dengan indahnya semesta.
Mulai hari ini dan seterusnya aku akan kembali melanjutkan kehidupanku disini. Aku harus melupakan yang telah lalu. Aku harus bisa merubah diriku. Tentang Res. Anggap saja sudah berakhir. Aku harus fokus dulu menjalani kehidupanku saat ini. Maaf ya Res. Mungkin kamu bukan jodohku. Atau memang segalanya terlalu cepat. Tapi aku berjanji Res, aku akan menemuimu lagi ketika tiba waktunya. Ketika semua kemauan ibuku telah terpenuhi.

***
Doaku dikabulkan. Garis ini menjadi hitam.
Ya, dia sudah mati.
Maafkan aku Gio, bahkan aku tidak bisa menemuimu untuk yang terakhir kali, bertemu jodohku sendiri. Setidaknya tidak ada lagi yang mengolok-olokku. Mungkin aku hanya tinggal memanjangkan rambut dan poniku agar garis ini tertutup. Aku bisa melanjutkan hidupku seperti dulu lagi. Tanpa cinta terhadap Adam. Aku akan menutup hati ini untuk siapapun. Aku tidak mungkin mengambil jodoh orang lain. Aku memang diciptakan untuk sendiri, hingga akhirpun sendiri.
Sepintas wajah Gio terlintas dalam pikiranku, saat aku memandang matanya, saat aku berbincang dengannya, wajahnya yang tampan dan tak pernah tersenyum. Benarkah aku membencinya? Aku tidak bisa menjadi munafik. Aku rindu padanya. Tapi kepergiannya adalah kesalahanku. Pantaskah aku mengharapkannya kembali? Air mataku mulai berjatuhan. Ini semua salahku, aku sungguh bodoh dan tidak berperasaan, tapi ini semua memang kemauanku. Aku tidak ingin dibenci. Itu saja. Dengan disisi lain, aku sangat menyayangimu Gio. Tidak, aku mencintaimu.

Aku mulai berdoa. Mendoakan dia, dan meminta maaf padanya. Semuanya berlalu begitu cepat. Aku mungkin menyesali ini semua. Tapi apa guna aku menyesali, semua telah berlalu. Cinta pada pandangan pertama, memang benar adanya. Besar pula kemungkinan, Ia adalah cinta sejatimu.

***

Enam tahun berlalu sejak kejadian itu. Sejak terakhir kali aku bertemu Res. Akupun juga rindu kampung halamanku. Mungkin tidak ada salahnya aku berkunjung kesana. Menemui Ibu Sum yang merawatku sejak kecil, menaburkan bunga diatas makam ayahku, dan juga menemuinya. Semoga dia masih disana. Seperti apa ya dia saat ini? Res yang berusia 20 tahun. Pasti dia lebih cantik dan anggun. Aku rindu padamu Res.

Uang upah kerja dan tabunganku akan kugunakan, jika dihitung-hitung sudah lebih dari cukup. Kuputuskan akan berangkat jam dua siang ini. Kalau begitu hari ini dan besok aku bolos kuliah. Dua hari saja mungkin tidak akan apa-apa. 

"Pak Wi, motor saya tolong siapin dong."
"Mau kemana mas?"
"Ada StudyTour pak"
"Lah kok naik motor? Masa saya suruh boncengin Mas?"
"Saya berangkat sendiri aja pak, malu lah masa StudyTour ngojek"
"Hoo iya-iya. Ibu sudah tau Mas?"
"Tadi saya telpon gak bisa, bapak aja deh yang kasih tau. 2 hari ya pak"
"Siap Mas."

Untung Pak Wi gampang dikibulin. Gak baik juga sih ngibul gini. Ya mau bagaimana lagi, kesempatan tidak bisa disia-siakan. Untung Ibu juga tidak dirumah. Semoga perjalananku lancar dan selamat. Ah, aku tidak sabar melihat kampung halamanku. Juga pohon besar di taman. Pertemuanku pertama kali dengan Res bangkit kembali. Jika dipikirkan, selama enam tahun ini aku masih menutup hati. Entah mengapa, tidak seorangpun yang bisa memikat hatiku. Semua terasa sama saja. Coba semua wanita adalah Res. Pasti tidak sulit menemukannya.

***

Banyak sekali mata kuliah hari ini. Lelah. Panasnya terik matahari membuatku haus. Karena uang saku sudah mau habis, aku putuskan untuk pulang dengan berjalan kaki saja. Ngomong-ngomong dunia ini sudah semakin rusak. Maling sana-sini. Naik bus yang murah pun bukan jaminan pengeluaran kalian akan sedikit. Maling-malin sudah lihai dalam mengobrak-abrik isi tas penumpang. Dengan bermodal pisau, dompet akan mudah sekali didapat. Seolah matanya dilengkapi X-Ray, mereka sudah tahu pasti dimana letak dompetnya. Untung saja aku mengikuti seni bela diri di kampus. Sangat bermanfaat tentunya untuk menghadapi kejahatan-kejahatan disekitarku. 

"Maling... maling!!!" Aku segera menoleh kesumber suara itu berasal. Ibu-ibu separuh baya dengan muka sedih bercapur tegang berteriak kencang sekali, mengalahkan bunyi klakson mobil. Tapi, perasaanku sangat tidak enak, sepertinya ada yang salah.
"Maling... Tolong! Maling!!!!!" Aku mengamati ibu itu lagi. Mengamati lebih jeli. Kok.. sepertinya ibu itu menunjuk ke arah kantong plastik yang kubawa?
"Mana malingnya Bu?!" serempak bapak-bapak yang disekitar ibu itu bertanya dengan nada was-was.
"Itu pak! Mbak yang pakai jaket hitam itu! Dia mengambil banyak minuman dan belum bayar!" HAH?
"OI MBAK JANGAN KABUR!! OI MALING! MALING!" HAAAAAAAH?!

Aku segera mengambil langkah seribu. Kan aku sudah bayar tadi, di suaminya. Ibu itu belum dikasih tahu, pikun, apa gimana ya? Ah, masa bodoh. Bisa dihajar jika aku tertangkap oleh mereka.
Terasa anggin yang berhembus kuat menerpa wajahku dar arah yang berlawanan. Jantungku berdebar-debar. Hampir saja aku mati diserempet sepeda motor. Dasar ugal-ugalan! Tapi perasaanku menjadi tidak enak. Saat aku menoleh kearah pengemudi tersebut. Dia juga menatapku dengan motornya yang masih melaju. Mata tajam yang menatapku sedikit demi sedikit mulai melebar. Aku kenal mata itu! Tapi siapa? 
BRAK! Motor itu menabrak bahu jalan. Entah mengapa aku menjadi cemas. Aku berhenti berlari. Aku dan orang-orang yang mengejarku tadi menuju kearah pengemudi itu.

"Pak! Pak! saya sudah bayar disuaminya ibu itu. Saya gak maling!"
"Oh Pak Banu, bilang dari tadi neng. Pak Banu memang pelupa, sedang istrinya sangat tidak suka sama maling. Di tokonya sudah banyak barang-barang yang dicuri."
"Beres kan pak berarti?"
"Belum, neng. Orang itu kelihatannya kenalannya eneng." Aku melihat kearah pengemudi itu. Ia mengulurkan tangan, hendak menggapaiku. Sesaat orang-orang disana membantunya mengangkat motornya. Sepertinya rusak parah. Seseorang lelaki membopongnya, seorang lagi melepaskan helmnya. Jantungku berdebar keras, antara sedih, senang, dan cemas. Air mataku mulai berlinang dan memnuhi kantung mataku. Selang beberapa detik, air mataku mengalir deras. Aku mengatupkan tanganku dimulutku, berusaha menahan agar tangis ini tidak pecah ditengah keramaian warga. Bukankah dia.. Gio?

***

"Aku senang kamu masih hidup, Gi." 

Suara seorang wanita membangunkanku. Suara itu tidak asing. Res, dia yang menolongku. Beruntung aku masih bisa selamat. Memar kurasakan dimana-mana. Aku baru saja menabrak bahu jalan. Itu dimulai saat sorang wanita dengan cerobohnya berlari tanpa melihat jalannya. Dia memejamkan mata. Hampir saja aku menabraknya. Hal itu membuatku sangat kesal dan kemudian memalingkan wajah untuk menatapnya. Barang kali dia tahu seberapa marahnya aku saat nyawanya hampir melayan. Tapi saat kami bertatapan, jantungku sempat berhenti. Perasaan itu tidak asing. Perasaan yang sama seperti enam tahun lalu. Saat aku menemukan Res. Aku tercengang, pikiranku kosong. Dan kemudian ban motorku tergelincir karena batu, kemudian menabrak bahu jalan. Kau tahu? Aku mulai menyadari sesuatu. Saat jantung dan hatimu merasakan sesuatu yang hebat, seperti hampir berdetak karena seseorang. Mungkin dia adalah seseorang yang disiapkan oleh Tuhan untukmu. Seseorang yang akan menjadi teman hidupmu.

"Bagaimana kabarmu?" Res tersenyum untuk menutupi kesedihannya.
"Lama sekali kamu menghilang.. Kemana saja?" Ia mengusap air matanya.
"Aku pulang esok hari setelah kita bertemu Res. Maaf aku tidak sempat mengucapkannya padamu. Tadinya kupikir aku masih bisa menemuimu tepat sebelum aku pergi. Tapi aku salah."
"Harusnya kamu bilang Gi."
"Iya, maafkan aku. Kamu kenapa menangis?"
"Aku senang melihatmu lagi."
"Aku juga senang melihatmu lagi Res." Tangis Res semakin terisak, Ia melangkah mendekatiku. Ia menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya. Apakah ada sesuatu yang salah? Kenapa dia sesedih ini? Tiba-tiba kedua tangan Res memelukku. Hangat. Dan juga basah.

"Kau tahu? Aku hampir menyesal seumur hidupku." Kata Res sambil membenamkan wajahnya ke dadaku. "Aku mengira kamu sudah meninggal Gio, dan itu salahku."
"Kita sangat jauh Res. Bagaimana bisa kau menyalahkan diri sendiri jika aku mati?"
"Karena, aku sendiri yang meminta Tuhan untuk menghilangkanmu. Maafkan aku Gio, maaf.."
"Kenapa Res?"
"Karena sejak kita bertemu, garis merah terdapat pada dahiku, dan aku diolok-olok dan dibenci teman-temanku. Kala itu hidupku hancur Gio. Hancur." Garis merah? Pertanda aku jodohnya?
"Tapi aku sangat menyesali itu Gi. Aku tidak ingin kehilanganmu, aku sangat menyesal Gio..."
"Ma..maafkan aku Res, aku sama sekali tidak bermaksud..." Aku bingung harus mengatakan apa lagi padanya.
"Tapi aku senang," dia tersenyum, dan menyibakkan poni rambutnya. Garis itu.. bukankah terlalu gelap untuk disebut merah? "Garis ini hitam. Keesokan hari setelah aku meminta Tuhan mengabulkan doaku. Dan sekarang kamu disini. Bukan berarti kamu mati Gio, dan beruntungnya aku ternyata kamu bukan jodohku."
"Dan kau tidak akan menyesal seumur hidupmu kan?" timpalku.
"Ya, kau benar...."
"Tapi kau salah Res." dia tampak tercengang. "Kau harus meminta maaf padaku atas doamu itu. Doa buruk yang kau tujukan padaku. Lalu... kamu sama sekali tidak beruntung. Karena kamu, memang jodohku."

***

Aku hanya terdiam, tidak mengerti apa yang Ia katakan. Dia mulai bercerita mengenai kehidupannya setelah berpisah denganku. Rupanya jantungnya pernah berhenti, mungkin itu yang menyebabkan garis pada dahiku berubah menjadi hitam. Aku sangat bersyukur. Aku tidak kehilangannya. Aku juga tidak harus mengambil jodoh orang lain. Karena memang dia, memang dia jodohku.

"Mau menikah umur berapa Res?" Aku kaget mendengar Ia menanyakan itu kepadaku.
"Mmm... Sesudah kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang kusuka. Mungkin 27?" dia tersenyum. Tampan sekali. Baru kali ini aku melihatnya tersenyum, senyumnya yang lebar dan hangat menarik sudut-sudut matanya sehingga matanya yang indah dan tajam itu tak lagi terlihat. "Kok... kamu bisa senyum?"
"Bisalah, kan kamu yang membuatnya." Senang sekali aku mendengar perkataannya tadi. Kenyataan bahwa akulah alasan mengapa dia tersenyum. "Kau tahu Res? hidupku hanya sebatas hitam dan putih, tidak bewarna. Aku buta dalam hal warna." Aku tertegun mendengarnya.
"Jadi kamu... Buta warna?"
"Ya. Tak apa-apakan kalau kamu memiliki jodoh yang buta warna? Biar begini Tuhan sudah menciptakanku untuk menjadi jodohmu." Aku tersenyum mendengar dia mengatakan hal bodoh itu.
"Aku sama sekali tidak masalah tentang hal itu" Lalu kami saling berbagi kisah, tentang apa yang terjadi pada kami selama enam tahun ini. Bagaimana kesan pertama kali kami saat kami bertemu, dia juga menceritakan tentang keanehannya pasca operasi. Dia juga mengetahui rahasia bintang rupanya. Jadi, dialah bintang redup yang berada disisi bintangku kala itu. Hari ini sungguh banyak kejadian yang tidak terduga. Aku sangat bahagia, bahagia melihatnya juga bahagia.
"Kamu mencintaiku kan Res?"
"Mmm.. Tunggu, apakah garis dahiku masih hitam?" aku menyibakkan poni rambutku dan bertanya padanya.
"Iya, masih. Tapi tidak apa-apa. Aku suka dahimu, bukan garis yang ada diatasnya." Aku tertawa mendengar perkataannya. Disisi lain aku merasa sedih. Tentang apa yang akan terjadi kedepannya. Tentang tanggapan para tetangga akan rumah tangga kami.
"Res, kalau aku memintamu menjadi pacarku, apa kamu mau? Sebentar saja. Pacar sementara." Sementara? Apa yang dia maksud? Apakah dia punya seseorang yang lain?
"Kenapa hanya sementara Gi? Selamanya pun aku tidak keberatan."
"Karena tujuh tahun lagi pacar bukan lagi statusmu. Kau akan menjadi isteriku." Lagi-lagi aku tidak bisa menahan tawaku mendengar ucapannya. Tangan kanannya yang hangat membelai pipiku, matanya yang indah dan penuh kehangatan juga menatapku. Lembut. Dalam sekejap, tangan kirinya menarik pinggulku. Aku berada dalam pelukannya.

"Aku besok harus pulang Res." Aku terkejut melihat ucapannya.
"Ibumu khawatir padamu?"
"Ya, aku juga ijin hanya pergi untuk dua hari."
"Baiklah kalau begitu.. Jaga diri ya Gio. Juga hatimu. Andai saja kamu disini lebih lama, pasti akan lebih banyak waktu yang kita habiskan bersama." 
"Ya, aku juga berharap demikian. Kau tahu? Melihatmu saja sudah membuat jantungku hampir berhenti. Sama persis seperti yang kurasakan saat ini." Deg. Sepertinya aku juga merasakan hal yang sama. "Bagaimana jika kita nanti bersama?" Ia menatapku lembut.
 "Aku tidak akan membunuhmu Gio, untuk yang kedua kalinya." Dia tersenyum. Tampan. Dan entah mengapa hormon adrenalinku menjadi terpicu sangat keras. Dia memejamkan mata, mendekatkan bibirnya pada bibirku. Dadaku hampir meledak dibuatnya. Secara reflek, aku melingkarkan kedua tanganku kebelakang lehernya. Aku memejamkan mata...

Drrrrrttrtt... Drrrrrrrttttrt..
Oh sial. Teleponku berbunyi. Gio nampak kaget dan juga kecewa. Lucu sekali wajahnya.
"Ya Om?" Aku mengangkat telepon. Telepon dari Om Lukman yang mengabarkan kalau motor Gio baru akan selesai sekitar satu minggu lagi. Aku hampir melonjak kegirangan. Gio menatapku bertanya-tanya tentang apa yang sudah terjadi padaku. Aku menghampirinya.

"Kenapa Res?" aku memeluknya erat sekali, karena aku sangat bahagia. Gio yang wajahnya tampak polos dan tidak tahu apapun sangat lucu. Aku mencium pipinya. Dia ternganga. Aku senang sekali melihat wajahnya yang seperti itu.
"Motor kamu Gio. Baru akan selesai satu minggu lagi. Kamu akan sedikit lebih lama bersamaku... Cepat kabari Ibumu ya!" Dia tersenyum, mengangguk. Kemudian mencium keningku.
"Tampaknya aku juga harus mengumpulkan uang untuk biaya bengkel." Benar juga, biaya bengkel pasti sangat mahal melihat betapa parah kerusakan di motornya.. "Res?" 
"Iya sayang?" aku menjawabnya. Memanggilnya sayang, karena aku memang sangat menyayanginya.
"Ulang tahunmu tanggal berapa?" Benar juga, dia dan aku sama-sama belum tahu tanggal berapa kami dilahirkan.
"Enam April.." Aku menjawabnya. "Memangnya kenapa Gi?"
"6 April yang akan datang mari kita rayakan ulang tahunmu. Aku juga akan menghadiahkanmu cermin." Dia tersenyum lagi, menyibakkan poniku.
"Garis pada dahimu itu... merah."

Seperti buku milik adikmu,
Tuhan menciptakan titik-titik agar kau hubungkan menjadi garis
Lalu garis akan membentuk sebuah gambar
Semudah itu, Sesederhana itu.

Garis akan tetap menjadi garis,
Garis tidak mempedulikan warna
Seberapa banyakpun warna yang kau gunakan 
Semudah itu, Sesederhana itu.

Selasa, 02 Desember 2014

Selamat Untukmu

To: N

Halo, bagaimana kabarmu? Bagaimana dengan umurmu yang ke-16? Sudah kau mulai dengan sesuatu baru yang menyenangkan dan membahagiakan? Semoga iya, dan seterusnya seperti itu. Semoga kamu jadi lebih baik bahkan sempurna.

Ingat akan diriku? memorimu di masa lalu. Tulisan ini sebagai ganti aku yang tidak pernah mengucapkan secara langsung untukmu. Tahun ini berbeda ya, dengan tahun-tahun sebelumnya.. Tapi perlu kamu tau, aku tidak pernah lupa dengan 26 Novembermu.

Kamu sedang apa? Aku rindu lho dengan dialog kita dan suara tawamu..
Apalagi cuekmu, dan semua cerita-ceritamu. Maafkan aku ya, atas semua yang pernah membuatmu kecewa.
Terima kasih, mengenalmu adalah hal yang teristimewa.

Selamat Ulang Tahun  ...

 I just wanted to thank you, for all the time you've ever for me .
 That is the wonderful memories I may never forget .
 May you be smart and mature woman , perfect in every way .
 Don't forget to keep your health ,
 because I care about it , all about you .

 Wish happiness is always with you .